Sabtu, 10 Maret 2012


Bersua Seniwati Aceh di Jerman
Rabu, 1 Februari 2012 11 google Share on twitter

010212foto.12_.jpg
OLEH SAIFUL AKMAL, mahasiswa Aceh pada Johan Wolfgang von Goethe University, melaporkan dari Frankfurt

BEBERAPA waktu lalu, kami berkesempatan bersilaturahmi dengan salah seorang tetua masyarakat Aceh di Jerman. Namanya Razlina Reichardt. Kebetulan saya dan beliau sama-sama membantu Yayasan House of Aceh International untuk wilayah Jerman.

Razlina juga aktif sebagai perwakilan World Acehnese Association (WAA) Jerman, di samping aktif dalam komunitas masyarakat Aceh dan Indonesia di Jerman dan sekitarnya.

Sudah lama memang saya ingin menyambung silaturahmi dengannya, tapi baru kali inilah saya berkesempatan pergi ke Trier, tempat Razlina tinggal. Ditemani istri saya (Yusni Zahara) dan Malahayati Sari Ibrahim, calon mahasiswa asal Malaysia berdarah Matangkuli Aceh Utara (dari Frankfurt), dan Heru Fahlevi (mahasiswa doktoral asal Tapaktuan yang sedang kuliah di Speyer), kami menuju Trier. Ini merupakan pusat administrasi dan perencanaan kota di Jerman.

Sebelum ke Trier, kami juga singgah untuk menjenguk salah satu keluarga mahasiswa asal Aceh lainnya di Kota Sarbruecken, di mana Khairan Yusuf dan keluarganya tinggal sejak tiga tahun lalu. Kami diajak untuk bersantap siang dengan menu khas Nusantara: sayur lodeh, ayam bakar, dan pergedel. Setelah itu barulah kami berangkat menuju Trier, kota kedua terpenting dalam sejarah peradaban Romawi, setelah Roma. Di situlah pintu gerbang Kekaisaran Romawi menuju Eropa daratan, khususnya Jerman berada.

Pintu gerbang itu bernama Porta Nigra (Gerbang Hitam). Sebagai kota tertua di Jerman, Trier juga dikenal sebagai tempat filsuf komunis, Karl Marx yang antigereja, lahir. Kota ini memang tidak seterkenal kota-kota lainnya seperti Berlin, Munich, atau Frankfurt, namun ia penuh sejarah.

Di sinilah Razlina Reichardt--kami menyapanya Kak Lina--bermukim bersama sang suami, Herman Reichardt. Razlina Reichardt adalah perempuan kelahiran Aceh, seniman teater, penulis puisi, dan sastrawati yang sejak tahun 1990-an setelah menikah dengan pria Jerman yang juga seniman teater dan hingga kini berdomisili di Kota Trier, Jerman.

Salah satu tulisan beliau yang terbaru bisa dibaca dalam buku “Tsunami Kopi” terbitan Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh, juga di Koran Online Atjeh Post. Razlina juga bergabung dengan Aliansi Sastrawan Aceh. Meski sudah lama hidup di Jerman, tapi tetap saja keacehan beliau masih sangat kental. Sajian menu makan malam dengan mi goreng udang khas Aceh, adalah salah satu buktinya. Belum lagi kefasihan beliau bertutur dalam bahasa Aceh dan anuek jamee. Razlina memang dibesarkan di Tapaktuan dan berasal dari Blangpidie, Aceh Barat Daya.

Ditambah dengan pemahaman beliau akan budaya, wabilkhusus mengenai sastra Aceh, menjadikan kami serasa berada di Aceh ketika berdiskusi dengan Razlina dan suaminya yang cukup ramah. Mereka menunjukkan foto-foto pernikahan “jadul” di Aceh, di mana saat itu kata suami Razlina, menikah di Aceh serasa menjadi bintang film terkenal. Bahkan, ketika ijab kabul, kenangnya, banyak anak-anak mengintip prosesinya dari sela-sela jendela.

Di tengah kesibukan beliau membesarkan dua buah hati yang beranjak dewasa, Razlina tetap produktif menulis puisi dan menjalin tali silaturahmi dengan semua orang. Tak peduli apakah Aceh, Indonesia, atau Jerman. Meskipun sibuk bekerja, beliau tak pernah lupa menyapa dengan sapaan sastrawinya via akun jejaring sosial facebook.

Sebagai seniwati Aceh, kedekatannya dengan tanah kelahiran tidak akan pernah lekang, di mana pun ia berada. Meskipun sekarang sudah berbaur benua, bercampur asa, budaya, dan bertempat tinggal di antara Luxemburg--kota orang-orang kaya--dan Trier, tempat para Romawi dan raja, beliau dan keluarga tetaplah seniwati Aceh yang bersahaja. Teruslah berkarya, Cut Kak Lina.

* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar